source : pinterest |
Tidak mudah menjadi anak tunggal,
tunggal yang sebenarnya tak tunggal. Sebab kakakku yang pertama memilih jalan
hidup menjadi Pastor dan kakakku yang kedua memilih menikah dengan seorang
berkebangsaan Jepang dan menetap disana. Kini semua yang kulakukan harus
dilandasi pemikiran yang matang, termasuk ketika memutuskan untuk jatuh cinta.
Sebab pada siapa aku jatuh cinta dan menikah nanti akan menentukan nasib Ayah
dihari tua. Terlebih Bunda telah tiada, maka akulah yang harus setia
mendampinginya.
Terjebak
dalam kondisi dilematis, tentang apakah aku benar-benar menyukainya. Dazel yang
tak sengaja menjadi temanku karena pembagian kelompok pada kelas hukum bisnis.
Saat itu dosen kami pak Yudistira membagi kelompok diskusi secara acak yang
membuatku bertemu dengannya.
Sejak
diskusi pertama aku tahu diantara kelima anggota kelompok hanya aku dan Dazel
yang benar-benar berusaha memecahkan masalah untuk setiap kasus di kelas. Ya
dia sama sepertiku dia seorang pemikir. Hanya aku sedikit tidak menyukainya,
menurutku dia terlalu arogan dengan selalu mencoba mengangkat tangan saat pak
Yudis memberi kesempatan untuk bersuara, hingga tak ada kesempatan untuk teman
lainnya.
“Kenapa
kamu selalu jawab diskusi di kelas?,” tanyaku. “Karena ada kesempatan untuk
diskusi jadi kenapa tidak dimanfaatkan,” jawabnya.
Dari
situ aku mulai tahu dia hanya memanfaatkan kesempatan untuk berdiskusi, jauh
dari pendapat teman-teman yang menganggap ia cari muka. Tidak salah memang.
***
Tiga
minggu kebelakang, ada hal berbeda yang kurasakan. Ia tak lagi Dazel yang
biasanya, dimataku ia tampak begitu rapi dan menarik perhatian. Setiap sore
saat duduk di balkon rumah dengan menghirup aroma matahari, bayangannya selalu
muncul. Aku menunggu-nunggu saat dimana kami akan pergi bersama lagi, duduk
berdua atau bersama teman lainnya, menikmati kopi dan membahas band
kesukaannya. Sekali lagi, aku tenggelam dalam pikiranku sendiri.
Tapi
berdasarkan pemikiranku selama beberapa minggu ini, tampaknya akan sulit
mendapat kesempatan untuk duduk di café sembari mendengarkan Sunflower dari Rex
Orange County bersama. Ya, pilihan untukku pergi bersama teman-temanku dan ia
bersama teman-temannya selalu menjadi pilihan yang lebih baik.
Entahlah, aku mencoba untuk selalu berpikir positif, tentang apakah aku benar
menyukainya atau tidak, setidaknya setiap kali berada didekatnya, itu menjadi
hadiah bagi mataku untuk menatapnya, hadiah bagi mulutku untuk berlatih berbicara tentang
hal-hal baik, hadiah bagi pikiranku untuk selalu mengkritisi setiap isi dari
perbincanganku dengannya. Pemikirannya yang begitu terbuka, dan semua petanyaan-pertanyaan
setidak-tidaknya memotivasiku untuk selalu berpikir, mengikuti perkembangan dan
mendorongku menjadi pribadi yang lebih baik.
Beginilah risiko menjadi seorang pemikir, masih kuingat saat kelas empat SD ketika aku terlambat datang kesekolah, Pak Zardani menghukumku berdiri di depan kelas, setelah berjalan satu jam ia menawarkan penitensi, “Cempaka, capek? Kamu nangis dulu baru kembali ke bangkumu,” Sebenarnya waktu itu aku tinggal menangis saja maka hukumanku akan berakhir. Tapi aku berpikir, bukankah hal bodoh menangis tanpa sebab?
Hingga
hari ini tak ada kesimpulan yang bisa kutarik, aku belum memutuskan apakah aku
menyukainya atau tidak. Dazel, teruslah seperti ini. Ketika berada di sisimu
begini, aku hanya mencoba memanfaatkan waktu yang tersisa untuk memberanikan
diri menatap matamu. karena aku tahu semua terpaut oleh waktu.
15/10/2018
Yogyakarta
Emerensia Tangkas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar