TEKS BERJALAN

EMERENSIA TANGKAS: SAYA PANCASILA. READINESS AND SACRIFICE

Jumat, 09 Juni 2017

Untuk Bapak ke-3



           When I feel no one cares. He was there support me. Dinamika hidup membuat aku merasa punya banyak bapak. Terimakasih untuk bapak ke-3 yang selalu ada setiap kali aku mencari bantuan, yang selalu menularkan semangat. Terimakasih sudah menginspirasi, banyak berbagi pelajaran tentang tanggung jawab menjadi anak sulung baik lewat verba maupun praksisnya. Bahkan beberapa pelajaran yang tidak aku dapat dari bapakku sendiri. Semoga berbahagia dalam kehidupan yang abadi bersama Dia Mpunya Kehidupan, semoga kelak kita boleh berjumpa kembali. Doaku selalu menyertai.

sumber : Doc priadi keluarga Setya Wiyata


“Hallo, dimana?”
“di Halte depan RS. Umum”
“kerumah aja, naik becak nanti pakde anter.”

             Mungkin puluhan kali percakapan semacam itu kami ulangi, ya! Percakapan antara aku dan bapak ke-3 ku, ia yang selalu ada tiap aku butuh ditengah kesibukannya.  Ia yang selalu peduli setiap kali aku merasa tak ada seorang pun memperdulikanku, saat ibuku sibuk dengan kehidupannya, bahkan saat aku berseteru dengan bapakku sendiri.

             Namanya Bapak Martinus Eddy Sunarto Broto, biasa ku panggil pakde Edi, seorang guru kimia di SMA Xaveris Pringsewu, yang setelah pension sibuk mengurus koperasi dan mengurus sawah yang dia bilang adalah hiburan ditengah komunitasnya. Sosok yang selalu memberi pelajaran, bahkan untuk hal-hal yang sederhana. “kas pancoran tu!” saat kami ada di Jakarta. “Ini namanya pantai utara, banyak bangau disini, lagi musimnya.” Saat kami berada di Indramayu. “Ini kampusnya Mbak Gistha, seberangnya kampus Atmajaya.” Saat kami berada di Jogja. Ia banyak berbagi hal yang sebenarnya aku sendiri pun sudah tahu. Hanya sosok ini juga yang sering kali, berhenti saat melihat aku di pinggir jalan hanya untuk memberiku selembar Rp. 50.000,- sampai-sampai teman-temanku bilang; “kamu udah kayak cewek bayaran aja, bagi duitnya! Tak jarang mereka nyeletuk begitu.

Bapak Edi Sunarto (paling kiri) foto diambil pada tahun 2013 di Puncak Merapi, lokasi Kuliah Kerja Nyata (KKN) mbak Gistha sepupuku, anak bungsu dari Pak Edi.

            Tapi lebih berharga dari semuanya itu, ia kerab memberi kalimat-kalimat yang tak mungkin terlupakan. Seperti saat kami terakhir berjumpa sekitar satu bulan yang lalu di kamar kostku, Pakde datang bersama Budhe Bangun. “Kuliahnya lancar kan?” “Anak pertama itu tanggung jawabnya gedhe. Harus bisa memberi contoh untuk adik-adikmu. Biar jadi motivasi buat mereka.” “Sekarang harus berani menderita, harus ngerti keadaan orang tua, harus mau nahan pengen ini-itu.” “Pakde dulu juga gitu.” Mungkin salah satu penyebab dia menjadi salah satu orang terdekatku juga karena kesamaan nasib, kami sama-sama sulung dan harus berjuang.

            Tentu tidak ada manusia yang sempurna, pelajaran luar biasa yang aku dapat bukan hanya dari nasehat-nasehat yang ia berikan. Bahkan dari kekurangan dan kesalahan yang pernah ia perbuat, menjadi refleksi sendiri untukku. Ia yang sejak kecil sering membawa aku sebagai anaknya, kemanapun. Semua keluarga dan kerabat Setya Wijata pasti merasa sangat kehilangan, terlebih karena ini sangat mendadak. 
Dan hari ini 09 Juni 2017, aku kehilangan salah satu sosok yang paling peduli dihidupku. Tepat pukul 12.50 WIB bapak menelfon saat aku di kampus mengejutkanku dengan kabar lelayu; "Kas, mau ngabarin tadi pakde ngidul (ke rumah mbah) sesak napas, bapak bawa ke RS. Mitra tapi udah nggak ketolong. Keluarga di Jogja gimana ya? Mbak Gistha baru berangkat ke Jogja kemaren sore." Mendengar kalimat itu, tentu berat, sontak dadaku ikut sesak dan air mata sudah tak tertahankan. Selamat jalan Pakde, Pakde selalu punya tempat spesial di hatiku. Tangkas Percaya setelah ini pakde akan berbahagia dalam kehidupan kekal bersama Bapa di surga, sebab doaku kan selalu menyertai. Minggu depan kita ketemu di rumah baru pakde ya :)
Rest in Peace.

                                                                                        (Depok, Sleman 09 Juni 2017)



                                                                                              Untuk Pakde tercinta,
                                                                                            Dari Tangkas Emerensia

His most favorite-routine cuddling pose, since I was a baby until now becoming a 25-year-old young lady. The best cuddling ever in my life. - Gistha-

Doc : pribadi

doc : SMA Xaverius Pringsewu


Doc : Chatarina Ema

Doc : pribadi

Doc : pribadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar