TEKS BERJALAN

EMERENSIA TANGKAS: SAYA PANCASILA. READINESS AND SACRIFICE

Sabtu, 24 November 2018

Pak Sungkono Dan Imannya

source : pinterest

 “Aku berdoa sepanjang hari dan percaya bahwa Engkau akan mendengarkan doaku. Tapi mengapa pertolonganmu tak kunjung tiba? Bukankah Kau berkata iman akan Engkau yang akan menyelamatkan?” seru Sungkono.


Sungkono sudah tinggal di komplek perumahan Betawi Raya sejak dua puluh tahun yang lalu. Ia membeli dua buah rumah tipe 32 yang dipugarnya menjadi satu setelah dipindah tugaskan dua puluh tahun silam. Karena sudah lama tinggal, bisa dibilang Sungkono termasuk warga yang dituakan di komplek perumahan yang hampir seluruh penghuninya adalah orang-orang perantauan. Tepat tiga bulan yang lalu ia resmi berstatus sebagai pensiunan. Kini sehari-hari kegiatannya adalah pergi ke gereja setiap pukul 05.30 untuk ibadah pagi, membaca koran setelahnya, menjemur burung-burung peliharaannya dan merawat tanaman setiap sore tiba.

Keluarganya tampak begitu bahagia dalam kesederhanaan. Istrinya yang 12 tahun lebih muda darinya berprofesi sebagai guru sekolah luar biasa. Anak pertamanya sudah menikah, bekerja sebagai apoteker pada salah satu perusahaan farmasi ternama di Bandung. Anak keduanya masih duduk di kelas dua sekolah menengah pertama. Dari anaknya yang pertama ia mendapat tiga orang cucu yang hanya bisa ia temui setiap natal tiba, itupun hanya kurang dari seminggu karena cuti kerja anaknya memang terbatas. Oleh karena itu burung dan tanaman adalah hiburan yang menghiasi hari-harinya setelah pensiun.

Sungkono memang dikenal sebagai warga yang cinta lingkungan. Tak jarang ia menyapu jalanan sepanjang gang depan rumahnya, bila memang ada waktu. Ia juga kerap berkeliling sambil menyapa para tetangga, bila menemui rumah tetangga yang dirasanya gersang, ia tak segan mengirimkan beberapa tanamannya untuk menghijaukan rumah tetangga. Kecintaannya pada tanaman membuat halaman rumah Sungkono begitu asri, rumput di halaman depan dan belakang rumahnya juga selalu rapi. Maka istilah rumput tetangga lebih hijau tidak berlaku baginya.

Desember, bulan yang seharusnya banyak hujan. Tak terbayang sebelumnya, warga akan mengalami kekeringan bulan ini. Nyatanya, tanaman dihalaman layu, lingkungan perumahan begitu gersang. Pagar-pagar rumah semua tampak kusam diselimuti tumpukan debu. Iklim telah berubah. Sebagai orang yang cinta tanaman tak ayal Sungkono begitu gusar dengan keadaan ini. Setiap ia berdoa harapan turunnya hujan selalu disebutkannya, baik saat berdoa secara pribadi, berdoa dilingkungan maupun saat ibadah di gereja. Ia juga menelepon anak dan cucunya setiap hari mengingatkan untuk selalu memohon turunnya hujan.

Hingga keajaiban datang, hujan turun setelah doa umat memohon hujan selesai dibacakan. “Natal yang mengesankan,” gumam Sungkono. “Tuhan tak selalu mendengar doa umatnya yang setia, bahkan Ia jadikan ini sebagai kado Natal.” Bahkan pada pergantian tahun hujan turun dengan derasnya. Tak ada kembang api, tak apa. Kita lebih butuh hujan. Tanaman dihalaman takkan terhibur melihat kembang api bermekaran dilangit. Tapi mereka akan berbahagia karena bermandi hujan.

Sungkono selalu berdoa agar hujan tak pernah berhenti sepanjang tahun. Begitu pula dengan anak keduanya yang sangat menyukai hujan. Gania, anak kedua Sungkono selalu mendapat ilah kala hujan tiba untuk menuliskan puisi-puisi galaunya. Benar saja, hujan turun tak henti-hentinya sepanjang tahun. Sungkono ikut berbahagia melihat tanaman-tanamannya menari-nari terguyur hujan sepanjang hari. Tuhan amat baik.

Bulan Mei ditahun berikutnya, hal yang tidak disangka-sangka kembali terjadi. Kali ini banjir. Usut punya usut, bencana ini disebabkan karena banyak dibangun ruko-ruko dan hotel disekitar komplek perumahan Sungkono. Kebijakan tengang perizinan yang begitu mudah dari pemerintah, dengan alasan menambah penerimaan daerah tampaknya salah. Penyebab langsungnya adalah karena pabrik-pabrik di Kawasan itu banyak membuang limbahnya kesungai. Uang merubah perizinan diduga sebagai faktor yang membuat bisnis-bisnis itu tak pernah mendapat tindak lanjut. Hanya teguran sebagai formalitas belaka.

Keadaan semakin genting air lambat laun semakin naik. Yang semula hanya setengah meter kini menutup lantai satu rumah sungkono. Tanaman kesayangannya tenggelam sudah dalam genangan air. Semua warga diungsikan, termasuk istri dan anak sungkono. Hanya tertinggal Sungkono seorang bertahan di komplek perumahan itu. Ia percaya Tuhan akan mendengar doanya dan banjir akan segera surut.

Hari ketiga Sungkono berada dilantai dua rumahnya, datanglah Wikana salah seorang tetangga dengan perahu karet. “Pak Sungkono, mari ikut saya ke pengungsian” seru Wikana. Sungkono menjawab “Terimakasih pak Wikana, besok pagi air akan surut. Tak apa saya akan bertahan disini.”

Seminggu sudah Sungkono bertahan di lantai dua rumahnya. Sayang tebakkannya salah kini banjir menutup seluruh bangunan rumah. Sungkono naik ke loteng rumahnya. Hingga tiba tim sar menjemputnya, Sungkono tetap bertahan di loteng rumahnya. Ia percaya, Tuhan takkan tinggal diam melihat penderitaan umat yang betia berdoa pada-Nya. Tim sar tak berhasil membujuknya. Sore hari datang petugas mengguanakan hellycopter untuk menjemput Sungkono, ia tetap bertahan dengan pendiriannya.

Setelah bertahan 11 hari lamanya, air semakin naik hingga menutup loteng rumahnya. Karena keteguhan akan pendiriannya, akhirnya Sungkono naik ke surga.

Sesampainya di surga, ia berjumpa dengan Tuhan. Di sana ia bertanya pada Tuhan,

“Aku berdoa sepanjang hari dan percaya bahwa Engkau akan mendengarkan doaku. Tapi mengapa pertolonganmu tak kunjung tiba? Bukankah Kau berkata iman akan Engkau yang akan menyelamatkan?” seru Sungkono.

“Kini engkau di surga, bukankah itu keselamatan?” Tuhan menjawab.

“Tapi yang aku harapkan adalah keselamatan dari banjir, agar aku bisa segera berkumpul dengan istri, anak dan cucuku. Juga bersama para tetangga melanjutkan aktivitas seperti sedia kala.”

“Hei Sungkono memang siapa yang ngirim tetangga, tim sar dan petugas dengan hellycopter kalau bukan Aku? Aku mengirimkan bantuanku lewat berbagai sarana tapi kamu menutup mata dan telingamu.”

Mendengar jawaban Tuhan, maka ia menangis tersedu-sedu. Apa boleh dikata, kini ia telah berada di surga. Tinggal penyesalan yang tersisa, karena ia harus menunggu untuk dapat berjumpa dengan istri, anak, cucu dan tetangganya sampai hari giliran mereka tiba.



Terinspirasi dari homili fr. Paul yang saya tambahkan bumbu.

Yogyakarta, 24 November 2018 (18:54)
Emerensia Tangkas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar