source : pinterest |
“Aku berdoa sepanjang hari dan percaya bahwa Engkau akan mendengarkan doaku. Tapi mengapa pertolonganmu tak kunjung tiba? Bukankah Kau berkata iman akan Engkau yang akan menyelamatkan?” seru Sungkono.
Sungkono sudah tinggal di komplek perumahan
Betawi Raya sejak dua puluh tahun yang lalu. Ia membeli dua buah rumah tipe 32 yang
dipugarnya menjadi satu setelah dipindah tugaskan dua puluh tahun silam. Karena
sudah lama tinggal, bisa dibilang Sungkono termasuk warga yang dituakan di komplek
perumahan yang hampir seluruh penghuninya adalah orang-orang perantauan. Tepat
tiga bulan yang lalu ia resmi berstatus sebagai pensiunan. Kini sehari-hari
kegiatannya adalah pergi ke gereja setiap pukul 05.30 untuk ibadah pagi,
membaca koran setelahnya, menjemur burung-burung peliharaannya dan merawat
tanaman setiap sore tiba.
Keluarganya tampak begitu bahagia dalam
kesederhanaan. Istrinya yang 12 tahun lebih muda darinya berprofesi sebagai
guru sekolah luar biasa. Anak pertamanya sudah menikah, bekerja sebagai
apoteker pada salah satu perusahaan farmasi ternama di Bandung. Anak keduanya
masih duduk di kelas dua sekolah menengah pertama. Dari anaknya yang pertama ia
mendapat tiga orang cucu yang hanya bisa ia temui setiap natal tiba, itupun
hanya kurang dari seminggu karena cuti kerja anaknya memang terbatas. Oleh
karena itu burung dan tanaman adalah hiburan yang menghiasi hari-harinya
setelah pensiun.
Sungkono memang dikenal sebagai warga yang cinta
lingkungan. Tak jarang ia menyapu jalanan sepanjang gang depan rumahnya, bila
memang ada waktu. Ia juga kerap berkeliling sambil menyapa para tetangga, bila
menemui rumah tetangga yang dirasanya gersang, ia tak segan mengirimkan
beberapa tanamannya untuk menghijaukan rumah tetangga. Kecintaannya pada tanaman
membuat halaman rumah Sungkono begitu asri, rumput di halaman depan dan
belakang rumahnya juga selalu rapi. Maka istilah rumput tetangga lebih hijau
tidak berlaku baginya.
Desember, bulan yang seharusnya banyak hujan. Tak
terbayang sebelumnya, warga akan mengalami kekeringan bulan ini. Nyatanya,
tanaman dihalaman layu, lingkungan perumahan begitu gersang. Pagar-pagar rumah semua
tampak kusam diselimuti tumpukan debu. Iklim telah berubah. Sebagai orang yang
cinta tanaman tak ayal Sungkono begitu gusar dengan keadaan ini. Setiap ia
berdoa harapan turunnya hujan selalu disebutkannya, baik saat berdoa secara
pribadi, berdoa dilingkungan maupun saat ibadah di gereja. Ia juga menelepon
anak dan cucunya setiap hari mengingatkan untuk selalu memohon turunnya hujan.
Hingga keajaiban datang, hujan turun setelah doa
umat memohon hujan selesai dibacakan. “Natal yang mengesankan,” gumam Sungkono.
“Tuhan tak selalu mendengar doa umatnya yang setia, bahkan Ia jadikan ini
sebagai kado Natal.” Bahkan pada pergantian tahun hujan turun dengan derasnya. Tak
ada kembang api, tak apa. Kita lebih butuh hujan. Tanaman dihalaman takkan
terhibur melihat kembang api bermekaran dilangit. Tapi mereka akan berbahagia
karena bermandi hujan.
Sungkono selalu berdoa agar hujan tak pernah
berhenti sepanjang tahun. Begitu pula dengan anak keduanya yang sangat menyukai
hujan. Gania, anak kedua Sungkono selalu mendapat ilah kala hujan tiba untuk
menuliskan puisi-puisi galaunya. Benar saja, hujan turun tak henti-hentinya
sepanjang tahun. Sungkono ikut berbahagia melihat tanaman-tanamannya menari-nari
terguyur hujan sepanjang hari. Tuhan amat baik.
Bulan Mei ditahun berikutnya, hal yang tidak
disangka-sangka kembali terjadi. Kali ini banjir. Usut punya usut, bencana ini
disebabkan karena banyak dibangun ruko-ruko dan hotel disekitar komplek perumahan
Sungkono. Kebijakan tengang perizinan yang begitu mudah dari pemerintah, dengan
alasan menambah penerimaan daerah tampaknya salah. Penyebab langsungnya adalah
karena pabrik-pabrik di Kawasan itu banyak membuang limbahnya kesungai. Uang merubah
perizinan diduga sebagai faktor yang membuat bisnis-bisnis itu tak pernah
mendapat tindak lanjut. Hanya teguran sebagai formalitas belaka.
Keadaan semakin genting air lambat laun semakin
naik. Yang semula hanya setengah meter kini menutup lantai satu rumah sungkono.
Tanaman kesayangannya tenggelam sudah dalam genangan air. Semua warga
diungsikan, termasuk istri dan anak sungkono. Hanya tertinggal Sungkono seorang
bertahan di komplek perumahan itu. Ia percaya Tuhan akan mendengar doanya dan banjir
akan segera surut.
Hari ketiga Sungkono berada dilantai dua
rumahnya, datanglah Wikana salah seorang tetangga dengan perahu karet. “Pak
Sungkono, mari ikut saya ke pengungsian” seru Wikana. Sungkono menjawab “Terimakasih
pak Wikana, besok pagi air akan surut. Tak apa saya akan bertahan disini.”
Seminggu sudah Sungkono bertahan di lantai dua
rumahnya. Sayang tebakkannya salah kini banjir menutup seluruh bangunan rumah.
Sungkono naik ke loteng rumahnya. Hingga tiba tim sar menjemputnya, Sungkono
tetap bertahan di loteng rumahnya. Ia percaya, Tuhan takkan tinggal diam
melihat penderitaan umat yang betia berdoa pada-Nya. Tim sar tak berhasil
membujuknya. Sore hari datang petugas mengguanakan hellycopter untuk menjemput
Sungkono, ia tetap bertahan dengan pendiriannya.
Setelah bertahan 11 hari lamanya, air semakin
naik hingga menutup loteng rumahnya. Karena keteguhan akan pendiriannya,
akhirnya Sungkono naik ke surga.
Sesampainya di surga, ia berjumpa dengan Tuhan. Di
sana ia bertanya pada Tuhan,
“Aku berdoa sepanjang hari dan percaya bahwa
Engkau akan mendengarkan doaku. Tapi mengapa pertolonganmu tak kunjung tiba? Bukankah
Kau berkata iman akan Engkau yang akan menyelamatkan?” seru Sungkono.
“Kini engkau di surga, bukankah itu keselamatan?”
Tuhan menjawab.
“Tapi yang aku harapkan adalah keselamatan dari
banjir, agar aku bisa segera berkumpul dengan istri, anak dan cucuku. Juga bersama
para tetangga melanjutkan aktivitas seperti sedia kala.”
“Hei Sungkono memang siapa yang ngirim tetangga,
tim sar dan petugas dengan hellycopter kalau bukan Aku? Aku mengirimkan
bantuanku lewat berbagai sarana tapi kamu menutup mata dan telingamu.”
Mendengar jawaban Tuhan, maka ia menangis
tersedu-sedu. Apa boleh dikata, kini ia telah berada di surga. Tinggal penyesalan
yang tersisa, karena ia harus menunggu untuk dapat berjumpa dengan istri, anak,
cucu dan tetangganya sampai hari giliran mereka tiba.
Terinspirasi dari homili fr. Paul yang saya
tambahkan bumbu.
Yogyakarta, 24 November 2018 (18:54)
Emerensia Tangkas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar