Saya bersama Indra dan Yanto |
Minggu, 6
Mei 2018 memperingati hari jadi Himpunan Mahasiswa Program Studi Manajemen (HMPSM)
Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Divisi Public Relation (PR)
mengadakan kunjungan sekaligus acara syukur ke Panti Asuhan Putra Sancta Maria
Boro yang berada di kompleks Gereja Santa Theresia Liseux Boro, Banjarsari,
Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo.
Saya Bersama
teman-teman anggota aktif HMPSM yang kurang lebih berjumlah 90 orang, berangkat
sekitar pukul 08.30 WIB menuju Boro menggunakan bus, perjalanan ditempuh kurang
lebih 1 jam lamanya. Pemandangan berbeda terasa setelah memasuki Kabupaten Kulon
Progo, hamparan sawah membentang dan pegunungan hijau serta sungai Progo yang
besar dan berkelok menandakan kami sudah dekat dengan tempat tujuan. Setelah sampai
saya dan teman-teman berjalan sedikit menanjaki bukit sehingga terlihat pula
bukit-bukit di seberang. Setelah melewati gapura kecil dan bangunan tua yang
nampaknya seperti kapel atau mungkin juga gereja tua, mulai terdengar suara
anak-anak kecil menyanyikan lagu “Bapa Trima Kasih” yang mengingatkan saya pada
masa duduk di Sekolah Dasar, lagu ini selalu dilantunkan bersama untuk mengakhiri
kelas, rupanya suara itu berasal dari kelas Sekolah Minggu di Aula panti
asuhan.
Keceriaan adik-adik Pantu Asuhan Putra Sancta Maria Boro setelah mendapat hadiah game |
Pukul sepuluh
kegiatan dimulai, anak-anak usia SD hingga tiga SMP yang semuanya laki-laki
berkumpul di Aula terbuka di samping panti, duduk diantara saya dan teman-teman.
Acara dibuka dengan beberapa sambutan, lalu dilanjutkan dengan doorprize singkat yang dipimpin oleh dua teman
saya Andro dan Salsa. Terlihat beberapa anak dengan antusiasme, namun juga
tidak sedikit diantara mereka yang terlihat malu-malu untuk berdinamika bersama
saya dan teman-teman. Beberapa anak dipanggil ke depan untuk memperkenalkan
diri, salah duanya bercita-cita menjadi pembalap dan tentara, impian yang
keluar dari bibir mungil dan kepolosan hati mereka.
Suasana baru
pecah ketika dilaksanakan game berkelompok yakni estafet karet, melengkapi gambar dan estafet sarung. Kesempatan
yang baik saya rasakan ketika saya menggenggam erat kedua tangan Indra dan
Yanto salah dua anggota kelompok kami. Mereka begitu bersemangat dalam permainan.
Dua anak usia 1 dan 5 SD yang tak jarang saya dengar berseteru lucu. Dari dua anak
ini pula saya merasa mendapat banyak cerita dan pembelajaran. Indra bercerita
bahwa mereka baru pulang dari misa di gereja sebelum kedatangan kami. Saat saya
tanya;
“Tadi Indra
sarapan apa?”
Ia
menjawab;
“Pake telur.”
“Yang
mbangunin kalo pagi siapa? Pake bel?”
“Bruder. Pake
ketok pintu.”
Ini bukan
kali pertama saya berkunjung ke panti asuhan, bahkan beberapa teman saya semasa
sekolah juga merupakan anak panti. Namun saya merasa dari setiap kunjungan yang
saya pernah lakukan selalu memberi pengalaman, cerita dan nilai yang berbeda yang
bisa saya bawa dan syukuri. Dari Panti Asuhan Putra Sancta Maria ini justru
saya merasa belum memberikan apapun. Hanya candaan barang kali yang bisa saya
bagikan, tapi “cinta” dari adik-adik ini yang justru memberikan nilai-nilai
kehidupan yang berharga bagi saya.
Setelah potong
tumpeng, kami makan siang bersama, saya dan teman-teman memiliki waktu luang
yang cukup lama untuk berdinamika bebas bersama adik-adik, salah seorangnya Darma.
Darma adalah salah satu anak yang dapat berdinamika baik bersama kami,
celotehnya yang lucu dan pengetahuannya yang ternyata agak sedikit lebih luas
dari teman-teman yang lain. Saya mengetahui ini ketika dia bisa menjelaskan
mengenai salah satu tokoh di Indonesia yang teman saya bilang memiliki wajah
mirip Yanuar salah satu anak panti kelas 2 SD, sementara teman lainnya tidak
tahu siapa tokoh tersebut. Rupa-rupanya setelah saya tanya Darma baru 3 tahun
berada di Panti. Sebelumnya ia berasal dari Lampung sama seperti saya. Ia bercerita
bahwa rumahnya di Bandar Lampung terletak tidak jauh dari kediaman Gubernur
Lampung, Darma juga bercerita kulitnya yang putih karena ia tidak pernah keluar
rumah selama di Lampung. Ketika saya bertanya;
“Darma tau
Pringsewu nggak?”
“Tau! Tau!”
“Di situ
rumahku, kita sama dari Lampung.”
“Ada panti asuhan
putrinya kan disana?”
“Iya, Santa
Elisabet.”
“Dulu aku hampir
dimasukin ke sana kak.”
“Iya, abis
bulu matamu bagus sih, lentik kayak cewek.”
Memang
menurut sepengetahuan saya panti asuhan yang kami kunjungi di Boro ini dan
panti asuhan yang ada di dekat rumah saya di Lampung, pada awalnya sama-sama
dikelola oleh misionaris yang berasal dari Belanda hanya bedanya panti di Pringsewu dikelola oleh
suster-suster FSGM dan panti di Boro dikelola oleh Bruder-Bruder FIC.
Dari Darma
pula saya mendepat penjelasan secara detail mengenai kegiatan mereka
sehari-hari. Hampir sama seperti jadwal di panti-panti dan asrama-asrama yang
dikelola oleh kongregasi-kongregasi Katolik pada umumnya, setiap hari mereka bangun
pukul 4.15, setelah mandi semua misa harian di gereja, lalu sekitar 6.15
kembali ke Panti untuk sarapan lalu berangkat ke sekolah. Setelah pulang dari
sekolah mereka makan siang, setelah itu ada jam istirahat siang, sore hari
mereka piket membersihkan panti, setelah itu mandi, ada jam belajar sore,
setelah jam makan malam mereka belajar kembali, lalu pukul 20.45 mereka
berkumpul untuk doa malam. Baru setelah itu istirahat malam, untuk bangun dikeesokan
hari dengan rutinitas yang sama pula.
Recha, Ninda, saya dan kak Edo bersama adik-adik panti |
Tanggung jawab
panti yang bergerak atas misi Yayasan Pangudi Luhur ini memperoleh dana untuk
operasional sehari-hari dari Yayasan dan para donator dengan misi yang sama,
yakni ikhtiar untuk mencapai sesuatu yang luhur. Tanggung jawab panti rupanya
tidak hanya anak-anak yang berjumpa dengan kami di panti, hari itu tapi juga
anak-anak lain di luar panti. Bagi mereka yang telah tamat SMP, mereka
melanjutkan pendidikan ke SMK di Magelang, dengan uang kos setiap bulannya. Mereka
kembali ke Panti pada minggu di akhir bulan atau bila ada kepentingan lain. Bagi
anak-anak dengan prestasi baik dan apabila memenuhi persyaratan akan memperoleh
kesempatan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi.
Pukul 12.00
kami berdoa Ratu Surga bersama yang dipimpin oleh salah seorang anak yang saya
lupa Namanya, tapi saya ingat ia duduk di kelas 1 SMP. Saya dan teman-teman
juga mendapat kesempatan untuk mendengarkan persembahan permainan kulintang
dari beberapa anak yang membawakan lagu; Dalam Yesus Kita Bersaudara dan Kodok
Ngorek. Salah satunya Darma yang membawakannya. Setelah itu acara ditutup
dengan foto bersama.
Saya rasa ada banyak nilai yang hanya diperoleh adik-adik
di Panti Asuhan Putra Sancta Maria Boro ini yang mungkin tidak saya dan teman-teman
dapatkan dari pendidikan keluarga di rumah. Saya berharap semoga kelak mendapat
kesempatan untuk berjumpa kembali dengan mereka, saya percaya anak-anak spesial
ini dikirim untuk menjadi alat bagi Tuhan sebagai sarana cinta kasih, untuk
berkarya dan menjadi mitra untuk bersama-sama memperjuangkan nilai-nilai
kemanusiaan dan kehidupan dalam mencapai nilai-nilai luhur. Semangat adik-adik!
Cinta itu selalu berbagi!
Brenda, Romano, Ninda dan saya bersama adik-adik panti |
Saya bersama Alfares dan Yanuar setelah makan siang |
Yogyakarta, 7 Mei 2018 (19.28 WIB)
Oleh Emerensia Tangkas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar